Menu
 

AWAL Desember 2013 ini hari-hari saya terasa galau. Galau tingkat dewa. Entahlah  kenapa. Pada titik tertentu memang manusia terkadang akan sampai pada sebuah situasi yang seakan semua tak berpihak kepada dirinya. Keinginan yang tidak sesuai harapan, anak-anak yang seakan suka rewel, suami yang seakan tidak perhatian, perut yang terasa mual, kartu kredit yang belum terbayar, beberapa proyek yang gagal atau tertunda, keuangan yang menipis, tetangga yang suka bergunjing dan banyak lagi sebab lain yang sebenarnya sangat sepele. Bahkan terlalu sepele untuk ditulis maupun dibahas.
Padahal keadaan-keadaan tersebut pada titik tertentu sama sekali tidak membuat galau saya. Easy going saja. Semuanya dibawa enjoy. Toh, tidak mungkin kan  hidup tanpa hambatan sama sekali? Toh, semuanya pasti akan selesai dengan perjalanan waktu. Sejarah hidup saya sudah membuktikan itu. Dalam injury time, selalu ada pertolongan Tuhan dari arah yang tidak pernah saya sangka sebelumnya.
Dalam puncak kegalauan itu, saya cenderung menyalahkan orang lain. Menyalahkan situasi. Menyalahkan lingkungan sekitar. Menyalahkan orang-orang yang saya temui, baik sengaja atau tidak. Menyalahkan orang-orang terdekat. Bahkan yang paling ekstrim menyalahkan Tuhan, mengapa membuat saya mengalami situasi seperti ini? Mengapa semua kesialan seakan tertumpah kepada saya. Mengapa orang lain tidak pernah mengalami situasi yang saya alami saat ini. Dan lain-lain, dan lain lain.
Akibatnya, saya sering marah tanpa sebab, atau pun karena sebab yang sangat sepele. Anak-anak, suami atau orang terdekat yang selalu menjadi sasaran kemarahan yang tidak bertepi.
Pernahkah Anda mengalami hal tersebut? Saya yakin pernah. Hanya mungkin, reaksi yang Anda berikan berbeda dengan saya.
Sampai akhirnya saya harus berdamai dengan diri sendiri. Saat itulah tanpa sengaja saya ngobrol dengan pembantu rumah tangga (PRT) tetangga saya. PRT tersebut baru bekerja beberapa hari, menggantikan PRT sebelumnya yang pamit. Sehingga, pertanyaan yang saya ajukan pun pertanyaan standart perkenalan. Misalnya, nama, asal muasal, dll.
Dan, ternyata dalam usianya yang belum genap 25 tahun tersebut. Dia sudah memiliki anak usia 3 tahun.
“Kenapa anakmu kamu tinggal?” tanya saya penasaran. Membayangkan anaknya yang baru berusia 3 tahun seumuran anak saya harus berpisah dengan ibunya. Meskipun diasuh sendiri oleh ayahnya, tentu akan berbeda kalau tanpa ibu.
“Ya mau gimana lagi Bu. Kalau saya tidak bekerja, untuk makan saja tidak cukup,” jawabnya sambil menjemur pakaian di depan rumah majikannya.
Beringsut saya pulang ke rumah. Tanpa pamitan. Tak terasa ada bulir-bulir air yang meluncur di atas pipi saja. Saya segera menyebunyikannya dari pandangan anakku yang sedang bermain play doo di teras. Saya segera menuju ke kamar. Sambil mengamati si PRT yang menyelesaikan pekerjaannya dari jendela.
Saya amati wajahnya yang lugu. Saya benar-benar tertampar. Kegalauan yang saya rasakan bukan apa-apanya dibanding masalah yang dia hadapi. Untuk mencukupi kebutuhan primernya saja, dia harus berpisah dengan keluarga. Sebulan sekali baru bertemu. Saya tidak sampai harus berpisah dengan anak-anak dan suami saya dalam bekerja. Setiap hari saya masih bisa pegang uang lebih besar dari gaji dia sebulan, meskipun akhirnya saya belanjakan untuk berbagai keperluan rumah tangga maupun usaha.
Setiap hari saya masih bisa memeluk anak-anak saya dan menemani mereka tidur serta membacakan dongen. Saya masih bisa membelikan mainan, hamster, atau bermain ke taman dengan anak-anak saya kapan pun saya mau. Saya masih bisa memandikan, memakaikan baju, mengantarkan sekolah dan menjemput mereka. Saya masih bisa menemani anak-anak belajar, bermain atau melakukan aktivitas apapun yang mereka inginkan. Saya masih bisa dicium anak-anak saya setiap hari. (Anak saya punya kebisaan setiap hari minimal mencium saya 10x, bahkan pernah 100x).
Saya pun masih bisa bertemu suami setiap saat. Maka bersama, tidur bersama atau sekedar ngobrol terkait situasi terkini. Membaca koran di teras atau sekedar bersepeda berkeliling kota.
Saya dan keluarga juga sudah lama tidak sakit. Kami sekeluarga sehat. Bahkan, sekedar flu atau batuk saja tidak menghampiri.
Untuk keperluan pekerjaan rumah, saya memiliki PRT yang setia 8 tahun ini bersama saya. Dan cukup trengginas menyelesaian pekerjaan rumah. Untuk pekerjaan kantor, para karyawan saya yang masih muda-muda juga sudah dapat diandalkan. Tanpa keberadaan saya pun, sistem sudah bisa berjalan.
Lalu, apa yang seharusnya aku sedihkan?
Saya semakin terisak.
Kali ini saya belajar dari seorang PRT. Besok, atau lusa saya akan belajar dari Anda. (*)
pict by sehatnesia.com

Posting Komentar

 
Top