Menu
 

Oleh: Khoirul Inayah

Anak-anak mungkin hanya menempati 24 persen dari jumlah penduduk di dunia,
Namun di pundak merekalah 100 persen masa depan kita.

Kutipan ini tidaklah berlebihan, bahkan mendekati kebenaran. Di pundak anak-anaklah masa depan kita semua. Harapan kita membuncah. Impian kita bersemai.
Sayangnya, tidak ada satu pun sekolah yang bisa menjamin bahwa lembaga tersebut bisa mendidik anak-anak kita seperti harapan semua orang. Tidak ada sebuah lembaga apaun namanya yang berani menggaransi anak-anak yang disekolahkan di tempat tersebut akan menjadi seperti yang dipromosikan selama ini. Lantas, orang tua harus bagaimana?
Seperti yang kita ketahui, 24 jam waktu anak hanya 2-7 jam saja habis di sekolah atau 10%-30%. Selain itu, hanya sekitar 1-3 jam di lingkungan luar sekolah atau 0,5 – 10%, sisanya yang hampir 50 %-70 % waktu anak tersita di lingkungan keluarga. Meskipun dengan alokasi waktu yang lebih dari 50% tersebut sebagian besar tersita untuk waktu istirahat. Ini artinya, sudah saatnya kita tidak menggantungkan urusan pendidikan ini hanya semata kepada sekolah. Apalagi menyalahkan pemerintah. Urusan pemerintah sudah sedemikian banyaknya, selain pendidikan, hukum, politik, keamanan, ekonomi dan masih banyak lagi masalah bangsa yang harus ditangani pemerintah. Kita juga sudah paham bahwa selama ini pemerintah juga tidak cukup baik mengurus masalah pendidikan. Jadi, berhenti saja menyalahkan pemerintah dan menilai sistem pendidikan kita masih dianggap buruk.
Kembalikan tanggung jawab masalah pendidikan anak kepada masing-masing orang tua. Terutama tentang pendidikan karakter. Orang tua dan keluarga yang paling pertanggung jawab. Sekolah berperan dalam memberikan pendidikan akademis dan bekal skill  sesuai dengan kemampuan anak. Sedangkan, pemerintah yang memberikan sistem dan regulasi agar pendidikan sesuai sasaran, merata dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Berdasarkan UU Sisdiknas tahun 2002, pendidikan di Indonesia dibagi menjadi tiga. Pertama pendidikan formal yang ditangani lembaga-lembaga formal seperti sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Kedua, pendidikan non-formal yang ditangani lembaga-lembaga kursus. Sedangkan ketiga adalah lembaga informal berupa keluarga.
Nah, menurut saya ketiga jenis pendidikan ini sama dibutuhkan dan saling melengkapi. Pendidikan formal berperan dalam memberikan soft sklill kepada peserta didik. Kemampuan akademis yang akan mengantarkan generasi muda memiliki sklill tertentu. Sedangkan, lembaga informal berperan mengasah skill itu lebih tajam sehingga lebih siap digunakan saat harus berperan langsung dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan pendidikan informal sangat berperan besar dalam memberikan soft skill berupa pendidikan karakter bagi anak-anak. Misalkan, kemampuan tahan banting dan pantang menyerah, menumbuhkan keingintahuan yang kuat, kemampuan untuk berani mencoba dan berpendapat, pekerja keras, tidak meremehkan orang lain, jauh dari sifat iri hati, rendah hati, disiplin, jujur, dapat dipercaya dan karakter-karakter positif lainnya.
Dari sini terlihat jelas bahwa pendidikan informal di keluarga memegang peranan penting. Betapa pentingnya sifat-sifat dasar tersebut dimiliki oleh generas muda kita. Dan betapa sulit dan lamanya penempaan yang harus dilakukan untuk menanamkan karakter-karakter positif ini.
Seorang guru di Australia mengatakan saya lebih senang melihat anak saya bisa antri membayar di loket, meskipun tidak bisa matematika. Mengapa demikian? Untuk mengajarkan mereka budaya antri minimal butuh waktu 12 tahun, namun untuk mengajari mereka bisa matematika maksimal butuh waktu 3 bulan saja.
Sejarah orang-orang besar sudah mencatat bagaimana mereka bisa menjadi “besar” karena didikan orang tua yang luar biasa. Sebut saja, Thomas Alfa Edison yang pada awalnya dikeluarkan dari sekolah karena gurunya menganggap dia anak tidak berbakat dan berbeda dengan anak-anak yang lain. Namun, ibunya yang perkasa melihat dengan kaca mata lain. “Biarkan saya yang akan mendidik anak saya sendiri dan entah menjadi apa kelak,” ujar Nancy Matthews Elliott, sang ibu.
Andaikata sang ibu menyerah dan meyakini seperti yang dikatakan gurunya, mungkin sampai sekarang kita tidak aka pernah merasakan terangnya dunia dengan bola lampu. Ibunya lah yang menumbuhkan semangat pantang menyerah, menumbuhkembangkan keingintahuan yang kuat pada si anak untuk terus melakukan penelitian, riset dan percobaan demi percobaan hingga ribuan kali sampai akhirnya menemukan lebih dari 1.000 penemuan yang dipatekan. Sampai kiamat dunia tidak akan pernah melupakan jasa besar Thomas Alfa Edison, si anak ediot.
Sejarah juga membuktikan bagaimana Nabi Muhammad yang tidak bisa membaca dan menulis bisa menjadi pemimpin umat Islam dan diagung-agungkan hingga kini. Terlepas dari wahyu Tuhan, pendidikan keluargalah yang mendorong Muhammad kecil menjadi seorang yang amanah atau dipercaya dan memiliki bekal pemimpin. Hal yang sama juga terjadi pada Nabi Isa. Maryam pula yang ada dibalik nama besarnya. Dan masih banyak contoh-contoh teladan orang-orag luar biasa di sekitar kita yang semuanya dibesarkan dalam kegigihan sebuah keluarga. Bukan bergantung kepada lembaga pendidikan.
Nah, kalau kita semua sepakat bahwa keluarga khususnya orang tua yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak, maka yang menjadi persoalan adalah sampai saat ini tidak ada satu pun lembaga pendidikan yang mendidik menjadi orang tua yang baik. Baik itu berupa sekolah formal maupun nonformal. Yang ada hanyalah seminar-seminar parenting yang tidak semua bisa menjangkau lapisan masyarakat, karena pada umumnya berbayar.
Seorang orang tua baru, termasuk saya, hanya bisa belajar dari pola asuh dan didik yang dilakukan orang tua dahulu. Atau dari nasehat teman-teman yang telah terlebih dahulu menjadi orang tua. Selebihnya dengan mengikuti seminar-seminar parenting dengan bahan-bahan pembahasan yang terbatas. Sisanya lagi dengan membaca artikel-artikel di koran atau internet. Atau kadang membeli buku-buku parenting.
Mungkin saya masih beruntung masih bisa membeli buku, mengakses internet, sesekali menghadiri seminar parenting. Lantas bagaimana dengan saudara-saudara saya yang tidak bisa melakukan itu. Misalnya mereka terjebak dengan masalah ekonomi yang sangat terbatas, sehingga menghabiskan sebagian besar waktunya bekerja dan meninggalkan anak? Seperti buruh tani, nelayan, asongan, pemulung, pengemis dan lain-lain. Saya yakin sebagian besar diantara mereka hanya mengandalkan pola asuh yang diberikan orang tua mereka sebelumnya, dan itu belum tentu pola asuh yang benar. Sehingga, mata rantai pola asuh yang mungkin salah ini justru semakin berkembang dan tidak terputus hingga generasi-generasi berikutnya.
Bagaimana mungkin, sebuah proses akan menghasilkan output yang maksimal dan optimal tanpa dilakukan oleh sebuah sistem yang baik? Bagaimana mungkin keluarga akan menghasilkan generasi-generasi yang cemerlang kalau dididik oleh orang tua yang memiliki bekal seadanya dan proses pendidikan yang ala kadarnya?
Coba renungkan ini.
Sebuah pabrik saja untuk menghasilkan output yang baik harus dilengkapi dengan peralatan yang canggih dan bahan-bahan (input) yang bermutu. Nah, itu hanyalah benda mati yang diproses. Sedangkan pendidikan anak memproses benda hidup yang melibatkan perasaan, emosi, kecerdasan, perilaku, karanter dll. Tentu masalah yang muncul akan lebih kompleks lagi.
Lantas, kapan dan bagaimana pendidikan menjadi orang tua yang baik ini bisa didapatkan? Sedangkan, tidak ada satu pun bangku sekolah yang mengajarkan ini?
Menurut saya seyogyanyalah pendidikan menjadi orang tua ini harus bisa diakses oleh semua lapaisan masyarakat. Bahkan, kalau perlu pemerintah membuat sebuah kebijakan yang seperti mewajibkan semua calon orang tua untuk mendapatkan pendidikan menjadi orang tua yang baik. Karena ‘wajib” tentu harus gratis dan mudah dijangkau lokasinya. Inilah yang saya sebut sebuah Gerakan Nasional Pendidikan Menjadi Orang Tua.
Kalau selama ini salah satu syarat untuk mengajukan pencatatan pernikahan adalah suntik tetanus, maka masalah pendidian menjadi orang tua bisa diajukan menjadi salah satu syarat pula. Atau, kalau hal ini dianggap membebani, maka bisa dilakukan setelah pencatatan nikah. Untuk teknisnya, saya kira bisa didiskusikan lebih lanjut tentang gerakan ini.
Kalau perlu, pemerintah bisa membuat semacam biro-biro pelatihan di setiap kecamatan dan desa-desa yang memberikan pendidikan parenting ini. Dengan didukung oleh sarjana-sarjana psikologi dan sarjana kependidikan. Selama ini sudah berjalan bidan masuk desa, dokter masuk desa dll. Maka sudah saatnyalah kondisi pendidikan kejiwaan masyarakat juga mendapatkan perhatian.
Penyuluhan dibuat berkelanjutan, yang diikuti oleh para orang tua dan calon orang tua. Ada modul tersendiri, sehingga diharapkan tidak sepotong demi sepotong pendidikan ini diterima. Polanya bisa pula dibuat seperti era Orde Baru dengan penatara P4, tentu bukan dengan doktrin-doktrin seperti ini. Maksud saya, pendidikan menjadi orang tua ini harus bisa menyentuh semua lapisan masyarakat. Termasuk yang di pedesaan dan daerah terpencil sekalipun.
Pendidikan ini bisa juga disampaikan dengan melibatkan ormas yang ada. Seperti NU dengan Muslimat, Fatayat, Muhammadiyah dengan badan otonomnya, PKK, dharma wanita dll. Yang penting, semua lini dilibatkan agar bisa menjangkau semakin banyak orag tua dan calon orang tua.
Meskipun saya yakin tidak sepenuhnya cara ini efektif menjadikan orang tua dan calon orang tua memiliki bekal yang memadai dalam mendidikan anak-anak mereka. Namun, ini merupakan sebuah ikhtiyar bersama agar 100 persen masa depan kita tidak menjadi generasi narkoba, generasi koruptor, generasi kriminal. Tentu semua akan berpulang kepada masing-masing diri pribadi orang tua, serta kemampuan mereka dalam menerima pendidikan itu sendiri.
Bukankah dalam lagu kebangsaan kita Indonesia Raya karya WR Soepratman yang sudah berkumandang semenjang 1928, salah satu syairnya berbunyi:
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Kita selama ini terlena untuk membangun badan atau fisik bangsa ini, tapi lupa untuk membangun jiwa bangsa ini melalui pendidikan. Maka saatnyalah Gerakan Nasional Pendidikan Menjadi Orang Tua diwujudkan. (*)
Ilustrasi orang tua dan anak. ©Shutterstock.com/ Andrey_Popov

Posting Komentar

 
Top